Rabu, 02 April 2008

Inkarnasi Kristus

Pada minggu-minggu kedepan ini, saya ingin mengajak anda merenungkan mengenai Inkarnasi, sebagai bagian pertama dari seri renungan tentang Yesus Kristus.


Mari kita membuka Firman Tuhan yang menjadi perenungan bagi kita, yaitu Injil Yohanes 1:1-18. bagian ini adalah bagian yang sangat indah penulisannya dan sangat dalam maknanya.

Jika kita merenungkan tentang Inkarnasi ini, apakah gambaran yang paling cocok untuk menggambarkannya? Mari kita mem-perhatikan ilustrasi berikut.

Mari kita membayangkan bahwa kita sangat mencintai dan mengasihi tikus. Tetapi tikus ini sangat nakal dan semakin hari semakin menyebalkan dan semakin menjadi-jadi. Tikus ini mulai menggerogoti rumah penduduk sekitarnya. Hal ini menyebabkan penduduk sampai pada kesimpulan yaitu tikus-tikus ini harus dimusnahkan. Anda mengetahui hal ini dan anda mengatakan agar tikus ini jangan dimusnahkan karena kecintaan anda. Tetapi penduduk menetapkan jika tikus ini tetap pada jalan dan caranya, tikus ini akan dimusnahkan. Lalu anda memutuskan, dengan segala pengorbanan, untuk menjadi seekor tikus.

Singkat cerita, anda menjelma menjadi seekor tikus, lahir dan besar sebagai seekor tikus. Kemudian anda mengatakan : ”Hai para tikus, sesungguhnya saya ini bukan seekor tikus. Saya ini adalah manusia yang turun menjadi seekor tikus.” Tetapi tikus-tikus yang lain berkata : ”Ada-ada saja kamu. Kamu itu tikus! Kami tahu dimana kamu lahir, siapa ayah dan ibumu. Masa kamu katakan bahwa kamu manusia. Kamu itu seekor tikus!” Tetapi kamu berkata : ”Tidak! Saya ini adalah manusia. Saya datang kepada kamu untuk memberitakan, jika kamu tidak bertobat dari cara hidupmu, kamu akan dibinasakan.”

Lalu tikus-tikus yang lain berkata : ”Kamu kurang ajar! Kamu mengaku manusia padahal kamu tikus! Ayo kita salibkan dia!” Kamu yang sekarang adalah tikus, ditangkap, diseret, diludahi, dan pada satu bukit, disalibkan. Sewaktu di atas salib, anda berkata : ”Aku mengampuni kamu sekalian, karena kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan.”

Ini adalah gambaran anekdotal saya tentang apa artinya Inkarnasi, dan beginilah gambaran kurang lebihnya tentang apa yang telah terjadi dengan Yesus. Dia turun ke dunia ini untuk memberitakan kepada kita dimana jika tidak percaya kepadaNya, kita tetap pada jalan kita, maka kita akan binasa.

Inkarnasi adalah sebuah bayangan yang tidak bisa dipikirkan manusia, sama seperti kita, yang tidak dapat membayangkan bagaimana manusia menjadi seekor tikus.

Karena itulah, pada waktu Injil Yohanes menceritakan apa yang terjadi pada waktu Inkarnasi, pada bagian awal ceriteranya, dia tidak menggunakan sebuah narasi, untaian kalimat yang dalam, filsafat, ataupun teologi. Apa yang dia gunakan adalah untaian puisi (Yoh 1:1-18). Karena sedemikian dalam dan misterius apa yang hendak digambarkannya, dia mengungkapkannya dengan puisi.

Hanya puisi yang dapat mengungkapkan apa yang Allah perbuat. Jika diantara kita banyak yang tidak mengerti maksud kalimat tadi, mari kita bertanya kepada mereka yang sedang jatuh cinta. Ada hal-hal yang terlalu dalam untuk diungkapkan dengan kalimat-kalimat biasa, yang hanya puisi yang mampu mengungkapkannya. Itulah sebabnya prolog dari Injil Yohanes berbeda dengan dengan Injil Matius, Injil Markus, dan Injil Lukas.

Apa yang ingin digambarkan di sini bukan mengenai sejarah seorang manusia, tetapi sebuah peristiwa yang sama besarnya dengan penciptaan itu sendiri. Mari kita perhatikan ayat pertama ,”Pada mulanya adalah Firman;…” ketika kita membaca bagian ini, kita akan mengarahkan pikiran kita pada Kej 1:1, ” Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Apa yang ingin Yohanes katakan di sini adalah bahwa pada peristiwa Inkarnasi, Yesus menjadi manusia-logos, menjadi daging, adalah peristiwa yang hanya bisa dibandingkan dengan asal muasal daripada jagat raya.

Sama dengan penciptaan, ada latar belakang kegelapan, ”... gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” Di dalam bagian Yohanes ini pun kita melihat ada latar belakang kegelapan. Dalam hal ini, kegelapan adalah bayangan tentang ketakutan yang berada di dalam hati orang yang paling dalam. Coba bayangkan diri kita hidup di dalam kegelapan yang sangat pekat, dimana tidak ada satu titik cahaya pun yang bisa kita lihat. Perasaan apa yang muncul? Ketakutan. Ketakutan karena kegelapan menjadi satu tipe yang tua (archetype) untuk menggambarkan tentang manusia yang terhilang, yang mencari. Tuhan dibandingkan sebagai terang untuk mengenyahkah kegelapan. Tuhan mengenyahkan kegelapan dengan bersinar dalam kegelapan dengan kehangatan. Bukan sekedar menciptakan terang hanya untuk bersinar di dalam kegelapan. Yoh 1:14 mengatakan : ” The Word became flesh and lived among us, and we have seen His glory.”

Mari kita memulainya dengan melihat dasar-dasar Inkarnasi terlebih dahulu. Pasal 1:1 jelas sekali menggambarkan keilahian Kristus. Dalam bahasa Greek (Yunani), kita dapat melihat lebih jelas. Pasal 1:1 ini di dalam bahasa Greek adalah Kai teos en ho Logos. Dalam bahasa Greek, ‘kai’ artinya adalah ‘dan’, kemudian teos artinya ‘Tuhan’, dan ‘en’ adalah ‘adalah’, ‘ho’ adalah artikelthe’, dan ‘logos’ adalah ‘Firman’. Jadi secara harfiah, ‘Kai teos en ho Logos’ adalah ‘Dan Tuhan adalah Firman itu’. Kita perlu memperhatikan bahwa di dalam bahasa Greek, urutan tidak penting (berbeda dengan bahasa Indonesia dimana ‘Saya pergi ke sawah’ tidak sama artinya dengan ‘Sawah pergi ke saya’). Fungsinya merupakan hal yang lebih penting. Fungsi ini ditentukan oleh ekor dari kata. Jadi jika ekor katanya adalah os’, maka kata itu adalah subjek. Jika ada dua kata dalam satu kalimat yang memiliki ekor os’, maka dua-duanya adalah subjek. Jadi dari kalimat diatas ada dua subjek, yaitu ’teos’ dan ’Logos’. Tetapi subjek sebenarnya adalah subjek yang menggunakan artikel ( ho Logos).

Dalam bahasa Greek, jika kata/subjek itu ditempatkan di awal, maka kata itu mengalami tekanan. Dari kalimat diatas, maka kata ’teos’ adalah kata yang ditekankan. Jadi berdasarkan penjelasan ini, arti dari ’Kai teos en ho Logos’ adalah Firman itu adalah Allah. Banyak tafsiran akan kalimat ini. LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) menerjemahkannya dengan tepat, yaitu : ” ...dan Firman itu adalah Allah.” Tetapi Arianism menerjemahkannya dengan :” ...and the Word was a God.” Secara harfiah, terjemahan ini memungkinkan. Tetapi jika mau dilihat dengan baik, jika ini adalah terjemahannya, maka sebaiknya bahasa Greeknya adalah Kai ho Logos en teos (dalam kenyataannya yang dipakai bukan ini). Terjemahan ini memungkinkan, tetapi kurang tepat. Terjemahan inilah yang biasa dipakai oleh Saksi Yehova.

Kemudian Sabellianism menerjemahkannya dengan : “ …and the Word was the God.” Jika ini dipakai, seharusnya bahasa Greeknya adalah Kai ho teos en ho Logos. Artinya , Firman itu adalah Allah itu. Jadi antara Firman dan Allah tidak ada perbedaan. Sabellianism menyatakan bahwa Allah itu seperti seorang lelaki yang kadang menjadi pendeta, kemudian menjadi kepala RT, dan menjadi seorang Ayah. Beda peran tetapi hanya seorang lelaki. Jadi, Bapa sama dengan Anak. Terjemahan ini juga kurang tepat.

NRSV/NIV menerjemahkannya : ” ...and the Word was God.” Terjemahan inilah yang benar, sama seperti terjemahan dari NLT, yaitu : “ …and He was God.” Atau dengan kata lain Kai teos en ho Logos dapat diterjemahkan dengan ‘Memang Tuhanlah Firman itu’.

Yohanes ingin mengatakan secara doktrinal dan final bahwa Yesus memang Allah. Ayat ini menegaskan bahwa Allah-lah firman itu. Jika kita mempelajari, dalam bagian-bagian Alkitab diluar kitab Yohanes, Yesus sendiri mengakui bahwa Dia adalah Allah. Bukan dengan cara yang terbuka, tetapi dengan cara-cara yang lebih halus. Bagian dibawah ini adalah satu contoh. Dalam Mat 18:20 ditulis : ” Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Kita seringkali kurang memahami bagian ini karena kita bukan orang Yahudi. Seandainya kita orang Yahudi, kita akan memahaminya karena ada ajaran dalam agama Yahudi yang mengatakan ”But if two sit together and words of the Law [are spoken] between them, the Devine Presence rests between them...” (m.’Aboth 3.2). Jelas sekali Alkitab tidak ragu menegaskan bahwa Yesus adalah Allah, dan Yesus sendiri tidak pernah ragu sedikitpun untuk menegaskan bahwa dia adalah Allah yang datang ke dunia.

Pada ayat yang ketiga dikatakan segala sesuatu dijadikan oleh Dia. Tetapi Yesus sendiri tidak dijadikan. Berbeda dengan ajaran saksi Yahova yang mengatakan bahwa Yesus memang menjadikan segala sesuatu. Tetapi sebelum Dia menjadikan segala sesuatu, Dia terlebih dahulu dijadikan. Hal ini sangat bertentangan dengan ayat ketiga. Ingat, tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dia tidak dijadikan. Segala sesuatu Ia jadikan, dan sekarang Ia berInkarnasi menjadi anak manusia, menjadi daging seperti saya dan saudara. Ini adalah misteri Inkarnasi, bagaimana Allah yang dikatakan maha kuasa, maha tahu, dan maha hadir, menjadi bayi mungil yang dipangku oleh ibunya. Sungguh hal yang sangat luar biasa.

Saya yakin, sewaktu Yesus mulai besar, dia pasti pernah diolok-olok oleh anak yang lebih nakal. Dan mungkin banyak hal yang kita alami, dialami oleh Yesus. Menakjubkan bukan? Allah semesta diolok-olok oleh manusia. Sebuah kerelaan yang menakjubkan.

Kemudian, di dalam Yoh 1:4-9, Alkitab menyatakan meskipun Dia mengalami semua apa yang kita alami, Dia berbeda dengan kita. Di dalam Dia ada hidup. Artinya adalah Yesus hidup bukan karena diberi hidup. Anda dan saya bisa hidup karena kita makan atau didukung oleh berbagai zat gizi dan vitamin. Dengan kata lain kita diberi hidup, kita bertahan hidup karena segala sesuatu yang menyangga kehidupan kita.

Yesus tidak memerlukannya. Di dalam Dia ada hidup (terang manusia). Dialah sumber hidup dan Dia adalah terang manusia yang bercahaya di dalam kegelapan. Yohanes dan para nabi bersaksi tentang Terang tersebut. Ketika ada manusia mendapatkan terang, mereka adalah gambaran Kristus. Dan terang yang di dalam Kristus itulah yang menerangi setiap orang. Dan di dalam diri Yesus, jika kita mau membahas lebih dalam, apa artinya hidup mendapatkan satu penjelasan yang benar. Hidup bukan menjadi kaya, sekedar berbahagia, ataupun sukses. Tetapi hidup adalah melayani, merendahkan diri, dan mengerjakan panggilan Ilahi walaupun harus menyerahkan nyawa. Kehidupan Yesus menerangi kehidupan manusia dan meredefinisi apa artinya menjadi manusia. Dia adalah Terang yang menjelaskan dan menjadi cahaya kehidupan kita.

Kita akan melihat ayat 14. Apakah artinya ’Firman itu menjadi manusia’? Hal ini bukan berarti Firman itu mengambil manusia atau Firman itu mengambil tubuh dan jiwa manusia, atau Firman itu menjadi seperti manusia, atau Firman itu bercampur dengan manusia. Semua pendapat ini tidak benar. Arti dari Firman menjadi manusia adalah Firman itu telah menjadi manusia. Bukan mengambil alih manusia dengan tubuh, jiwa, dan roh, tetapi bagaimana manusia pada dasarnya, tanpa harus diambil alih, tanpa harus logos mengambil alih ego. Tetapi kesempurnaan sebagai manusia apa adanya. Darimana Yesus mengambil natur manusianya? Yesus mengambil natur manusianya dari ibunya, Maria.

Penting sekali memahami bahwa Yesus tidak berbeda dengan kita. Kita juga perlu melihat bahwa di dalam diri Yesus tidak ada perpecahan. Jadi Inkarnasi berarti 'waktu Yesus lapar, bukan berarti manusianya lapar, Allahnya tidak lapar’. Siapakah yang lapar? Jawabannya adalah Yesus Kristus. Sewaktu Yesus Kristus

menjadi manusia, Dia tidak berkurang, tetapi bertambah. Dia menjadi Allah sekaligus manusia, sehingga Dia bisa mengalami apa yang hanya bisa dialami oleh manusia. Hal ini dikarenakan natur manusia ditambahkan dalam diri Yesus. Salah satu hal yang menarik adalah, ketika Yesus naik ke Sorga Dia tidak membuang tubuh manusianya. Sewaktu Yohanes mendapat penglihatan, dia melihat Anak Domba yang disembelih lehernya. Sewaktu Yesus menampakkan diri kepada para murid pun, Dia menunjukkan bekas luka ditangan dan lambungNya. Dia selalu membawa kemanusiaanNya yang penuh dengan penderitaan. Hal ini memberi makna bahwa Inkarnasi Yesus adalah Inkarnasi yang total karena mengambil alih kemanusian dan penderitaan yang melekat pada kita.

Mari kita ambil beberapa refleksi bagi kita. Pertama, dengan Inkarnasi Yesus, kita dapat melihat bahwa dunia jasmani adalah dunia yang dihargai oleh Tuhan. Yesus tidak menghina manusia. Kedua, Tuhan adalah Tuhan yang bersedia merangkul kemanusiaan kita. Dia diam diantara dan bersama-sama dengan kita (’diam’ dalam bahasa Yunaninya adalah berkemah). Ketiga, peristiwa Inkar- nasi sama besarnya dengan penciptaan itu sendiri. Keempat, hidup hanya bisa di- mengerti dalam terang yang dibawa oleh Inkarnasi. Jika kita berpikir hidup berarti terus naik, kita akan jatuh. Hidup Yesus bukan hidup yang naik, melainkan Inkarnasi hidup yang turun terus sampai pada tempat yang paling bawah. Dan pada akhirnya, Allah menaikkanNya pada tempat yang tertinggi.

Soli Deo Gloria!

Jumat, 28 Maret 2008

Sabtu Sunyi

Sabtu Sunyi adalah keheningan yang menjembatani antara Jumat berdarah dengan Minggu bergelora, jembatan antara kematian Anak Domba dengan Kebangkitan Mesias Yesus Kristus. Ada kesalehan yang dalam dan keluhuran yang agung, yang penting direnungkan mengenai Sabtu Sunyi.

Pada masa interval ini membentang antara harapan yang kandas dari para murid, dan kejutan yang tidak diharapkan dari episode kemesiasan Yesus. Dia mati, sebuah situasi yang berulang kali Yesus prediksi, namun tidak pernah diharapkan dan dibayangkan oleh pengikutNya.

Seharusnya kedatangan ke Yerusalem adalah kemenangan atas Roma, suatu negara yang menjadi inkarnasi dari keangkuhan, penindasan dan ketidakadilan. Namun Raja Orang Jahudi, yaitu Yesus, berakhir dalam pembantaian, disalibkan dan dipermalukan dihadapan orang banyak. Tempatkan diri anda pada posisi murid-murid, maka wajar bila batin mereka penuh dengan kekecewaan, kebingungan dan putus asa yang tak terselami dalamnya. Harapan mereka seperti belahan kaca yang hancur berkeping-keping. Di tempat persembunyian, mereka hanya bisa terdiam seribu bahasa. Tidak mengerti bagaimana mungkin semua perjalanan mereka, yang ditandai dengan muzizat dan popularitas yang massal, berakhir sesakit itu secara mendadak.

Jumat Malam dan Sepanjang Sabtu Sunyi sungguh merupakan penantian yang sepi, hening sekaligus menikam dan menyakitkan.

Sabtu Sunyi adalah masa mengharapkan, meski kita tidak tahu pasti apa yang dapat diharapkan. Masa menanti, meski tidak tahu pasti apa yang sedang dinantikan. Lebih dari itu, mungkin Sabtu itu adalah masa dimana ketakutan untuk mengharapkan, dan kekuatiran untuk berani menanti menjadi suatu kristalisasi situasi yang dingin dan mencekam. Namun instink untuk b mengharapkan dan menantikan tidak sirna, justru menjerit dan menjadi semakin dalam. Paradoks iman yang misterius dan ilahi, namun sekaligus menyayat dan menyakitkan.

Inilah kesalehan yang sudah memudar di zaman modern ini, dimana nabi yang paling populer adalah nabi yang memberikan jaminan dan kepastian. Di mana harapan sudah kehilangan makna karena ketidakpastian dicabut dari harapan dan penantian. Namun kemanapun kita lari dan apapun janji yang kita terima dari para penggombal modern, kita pada akhirnya harus berhadapan muka dengan kenyataan bahwa segala sesuatu tidaklah seindah dan sepasti apa yang dijanjikan. Bahwa pada akhirnya janji tersebut mengecewakan dan sesumbar yang ditebar hanyalah isapan jempol belaka.

Sabtu Sunyi adalah masa di mana kita diingatkan lagi bahwa Tuhan tidak pernah gerogi karena kegelisahan dan rasa kuatir yang menyelimuti ketidakpastian kita. Kecemasan psikologis yang mendesak adanya suatu perubahan kearah perbaikan. Sabtu Sunyi mengajak kita untuk mengijinkan adanya ruang bagi ketidakpastian dalam mengharapkan, khususnya ketika semua dasar untuk berharap sirna sama sekali. Menanti meski tidak berani untuk pasti apa sebenarnya yang sedang dinantikan dan yang sedang datang. Inilah yang dialami para murid di sabtu yang sunyi itu. Inilah suatu bentuk kesalehan dan beriman yang sudah semakin hilang, namun yang penting untuk kita pelajari dan hidupi.

Kesalehan untuk menanti penting dalam penghayatan kaum intelekual kristen dalam partisipasinya melakukan perubahan di negara Indonesia yang mengalami multi dimensi persoalan. Perjuangan melawan korupsi bisa saja telah mengorbankan banyak hal, namun peubahan tidak kunjung tiba. Teriakan lawan ketidakadilan, malah bertemu dengan ketidakadilan yang menggunung dan bertambah-tambah. Perlawanan terhadap kejahatan seolah tidak ada hasilnya. Melakukan kebenaran seolah sendiri dan menjadi bahwa lelucon. Kita bertanya kapan kesunyian ini akan berakhir? Kapan harapan akan mulai merekan dan menghadirkan kenyataan yang diperbaharui?

Kesunyian sabtu itu akhirnya berakhir oleh suatu peristiwa yang mengejutkan dan tidak terbayangkan. Kubur menggelegar dan bergetar, Anak Allah dibangkitkan dari liang kubur dan sesuatu yang melampui segala harapan menerobos masuk ke sejarah dan ruang-waktu yang kita diami ini.

Melihat Sabtu Sunyi dari kaca mata Paskah kita diajak menghargai dan belajar menerima Kesunyian dan Penantian sebagai suatu bentuk beriman dan berharap yang penting. Kini kita bisa menghayati keheningan dan kesunyian yang menorehkan sakit dan kepedihan di kehidupan ini sebagai sebuah kesempatan menantikan sesuatu yang mengejutkan, sesuatu yang kitapun tidak pasti apa yang sedang menanti kita di ujung penantian dan pengharapan iman kita.