Kamis, 12 Agustus 2010

Hermeneutiknya Schleiermacher 2

Schleiermacher menekankan pentingnya hermeneutik tidak saja dengan memberdayakan fungsi rasio semata, tetapi juga dengan menggunakan fungsi empatik untuk menempatkan diri pada posisi penulis dan merasakan apa yang dialaminya.

Fungsi rasio dinamakannya dengan Faktor Komparatif dalam melakukan penafsiran. Dalam memahami penulis, dia menyebut ini sebagai fungsi maskulin. Apa yang disampaikan penulis dibandingkan (dikomparasi) dengan tulisan penulis sama dalam konteks lain, juga dengan penulis yang berasal dari masa yang sama, dengan penulis dan situasi sejarah pada masa itu. Tetapi penafsir juga perlu masuk ke dalam apa yang menjadi dorongan eksistential dari penulis, yaitu motif, momentum kreatif penulisan, perasan dan imajinasi yang ada di dalam dirinya. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan memanfaatkan dimensi feminim dari otak manusia, yaitu bagaimana memiliki semacam feeling (rasa) terhadap tulisan yang sedang ditafsirkan. Fakto ini disebuta dengan Faktor Divinisasi.

Dalam fungsi rasa ini kita bisa melihat pengaruh dari Filsafat Romanticism dalam diri S. Filsafat ini tidak memiliki suatu rasa percaya yang terlalu besar terhadap rasio. Bahwa makna dan kebenaran juga memiliki rute lainnya melalui fungsi afektif manusia.

Kedua faktor ini tidak berdiri sendiri, tetapi selalu beriringan dan saling melengkapi dalam proses penafsiran. Dengan melakukan kedua proses ini, S ingin mengusulkan bahwa penafsir mencoba untuk memahami tulisan sama seperti penulis aslinya memahaminya, dan kemudian lebih dari pada penulis aslinya sendiri memahami hal tersebut.

Karena sistem penafsiran dari S adalan sebuah pendekatan dengan memahami proses penafsiran sebagai sebuah gerakan, maka S tidak menekankan metode, tetapi proses yang terus menerus dalam penafsiran.

Tujuan penafsiran secara teori tentu saja adalah memahami seluruh dimensi bahasa penulis, dan memahami seluruh dimensi psikologis penulis. Namun karena pada kenyataannya hal ini tidak mngkin bisa dicapai, maka sasaran yang lebih realistis dari penafsiran adalah dengan MENDEKATI secara relatif apa yang disampaikan melalui bahasa sipenulis, dan bagaimana bahasa itu menyalurkan pemikiran si penulis.

Rabu, 04 Agustus 2010

Hermeneutiknya Schleiermacher 1

Schleiermacer dulunya kukenal sebagai bapak teologia protestan modern. Ada yang bilang pulang eyangya teologia liberal. Meski ini tidak terlalu tepat, tentu saja, bila dibandingkan dengan pengaruh dari Hegel, Decartes dan Kant, atau pandangan 'garis keras' dari beberapa teolog Jerman, yang mensejajarkan Yesus dengan manusia biasa.

Membaca tulisan-tulisan Schleiermacher (sebutlah dia S) tentang hermeneutik, atau teori menafsir ternyata memberikan horizon baru tentang dia dan pergumulannya. Selain tulisannya yang ditujukan pada 'religious despiser' pada zamannya, ternyata S juga merenungkan dengan serius hakekat penafsiran, dan oleh beberapa pakar diberi pula gelar Bapak dari Hermeneutik Modern.

Kalimatnya yang terkenal adalah 'mengerti sebagaimana penulis mengerti, dan kemudian memahami lebih dari penulis memahami tulisannya sendiri'. Mazab hermeneutik yang dirintisnya diberi nama 'Hermeneutics of Understandings'. Ada tiga pasangan dinamika penafsiran yang ditelurkan oleh S. Yaitu Siklus Penafsiran khusus-umum, siklus penafsiran gramatikal-psikologikal, dan siklus penafsiran komparasi-divinisasi. Ketiga gerakan ini menjadi tulang penunjang prinsip penafsiran yang dirumuskannya.

Yang menarik dari S adalah bahwa penafsiran itu digambarkan bukan sebagai sebuah proses mekanistis, atau sekumpulan prosedur yang harus diikuti, tetapi lebih merupakan sebuah gerakan dinamis yang hidup. Ambil contoh misalnya Siklus khusus-umum yang ditelurkannya. S menekankan bahwa kita hanya bisa memahami suatu bagian khusus dari teks, bila kita telah memiliki pemahaman tentang teks secara keseluruhan. Namun pada saat yang sama, pemahaman kita akan teks secara keseluruhan, dibentuk dari pemahaman kita akan suatu bagian khusus dari teks. Karena itu hanya dengan memahami secara umum kita mengerti makna bagian khusus, dan hanya dengan mengerti suatu bagian khusus kita memahami teks secara keseluruhan. Gerakan umum ke khusus, lalu dari khusus ke umum adalah sebuah gerakan terus menerus yang membentuk dinamika penafsiran.

Grant Osborne memberikan sebuah pencerahan dengan memberikan refleksi bahwa, ketika gerakan itu seolah kembali ke titik semula, sebenarnya penafsir telah bergerak dari titik semula, sehingga meski secara dua dimensi posisinya sama, tetapi dilihat dari tiga dimensi seorang penafsir telah bergerak dari posisi semula. Sehingga ia menyebut siklus tersebut sebagai sebuah spiral penafsiran.