Jumat, 28 Maret 2008

Sabtu Sunyi

Sabtu Sunyi adalah keheningan yang menjembatani antara Jumat berdarah dengan Minggu bergelora, jembatan antara kematian Anak Domba dengan Kebangkitan Mesias Yesus Kristus. Ada kesalehan yang dalam dan keluhuran yang agung, yang penting direnungkan mengenai Sabtu Sunyi.

Pada masa interval ini membentang antara harapan yang kandas dari para murid, dan kejutan yang tidak diharapkan dari episode kemesiasan Yesus. Dia mati, sebuah situasi yang berulang kali Yesus prediksi, namun tidak pernah diharapkan dan dibayangkan oleh pengikutNya.

Seharusnya kedatangan ke Yerusalem adalah kemenangan atas Roma, suatu negara yang menjadi inkarnasi dari keangkuhan, penindasan dan ketidakadilan. Namun Raja Orang Jahudi, yaitu Yesus, berakhir dalam pembantaian, disalibkan dan dipermalukan dihadapan orang banyak. Tempatkan diri anda pada posisi murid-murid, maka wajar bila batin mereka penuh dengan kekecewaan, kebingungan dan putus asa yang tak terselami dalamnya. Harapan mereka seperti belahan kaca yang hancur berkeping-keping. Di tempat persembunyian, mereka hanya bisa terdiam seribu bahasa. Tidak mengerti bagaimana mungkin semua perjalanan mereka, yang ditandai dengan muzizat dan popularitas yang massal, berakhir sesakit itu secara mendadak.

Jumat Malam dan Sepanjang Sabtu Sunyi sungguh merupakan penantian yang sepi, hening sekaligus menikam dan menyakitkan.

Sabtu Sunyi adalah masa mengharapkan, meski kita tidak tahu pasti apa yang dapat diharapkan. Masa menanti, meski tidak tahu pasti apa yang sedang dinantikan. Lebih dari itu, mungkin Sabtu itu adalah masa dimana ketakutan untuk mengharapkan, dan kekuatiran untuk berani menanti menjadi suatu kristalisasi situasi yang dingin dan mencekam. Namun instink untuk b mengharapkan dan menantikan tidak sirna, justru menjerit dan menjadi semakin dalam. Paradoks iman yang misterius dan ilahi, namun sekaligus menyayat dan menyakitkan.

Inilah kesalehan yang sudah memudar di zaman modern ini, dimana nabi yang paling populer adalah nabi yang memberikan jaminan dan kepastian. Di mana harapan sudah kehilangan makna karena ketidakpastian dicabut dari harapan dan penantian. Namun kemanapun kita lari dan apapun janji yang kita terima dari para penggombal modern, kita pada akhirnya harus berhadapan muka dengan kenyataan bahwa segala sesuatu tidaklah seindah dan sepasti apa yang dijanjikan. Bahwa pada akhirnya janji tersebut mengecewakan dan sesumbar yang ditebar hanyalah isapan jempol belaka.

Sabtu Sunyi adalah masa di mana kita diingatkan lagi bahwa Tuhan tidak pernah gerogi karena kegelisahan dan rasa kuatir yang menyelimuti ketidakpastian kita. Kecemasan psikologis yang mendesak adanya suatu perubahan kearah perbaikan. Sabtu Sunyi mengajak kita untuk mengijinkan adanya ruang bagi ketidakpastian dalam mengharapkan, khususnya ketika semua dasar untuk berharap sirna sama sekali. Menanti meski tidak berani untuk pasti apa sebenarnya yang sedang dinantikan dan yang sedang datang. Inilah yang dialami para murid di sabtu yang sunyi itu. Inilah suatu bentuk kesalehan dan beriman yang sudah semakin hilang, namun yang penting untuk kita pelajari dan hidupi.

Kesalehan untuk menanti penting dalam penghayatan kaum intelekual kristen dalam partisipasinya melakukan perubahan di negara Indonesia yang mengalami multi dimensi persoalan. Perjuangan melawan korupsi bisa saja telah mengorbankan banyak hal, namun peubahan tidak kunjung tiba. Teriakan lawan ketidakadilan, malah bertemu dengan ketidakadilan yang menggunung dan bertambah-tambah. Perlawanan terhadap kejahatan seolah tidak ada hasilnya. Melakukan kebenaran seolah sendiri dan menjadi bahwa lelucon. Kita bertanya kapan kesunyian ini akan berakhir? Kapan harapan akan mulai merekan dan menghadirkan kenyataan yang diperbaharui?

Kesunyian sabtu itu akhirnya berakhir oleh suatu peristiwa yang mengejutkan dan tidak terbayangkan. Kubur menggelegar dan bergetar, Anak Allah dibangkitkan dari liang kubur dan sesuatu yang melampui segala harapan menerobos masuk ke sejarah dan ruang-waktu yang kita diami ini.

Melihat Sabtu Sunyi dari kaca mata Paskah kita diajak menghargai dan belajar menerima Kesunyian dan Penantian sebagai suatu bentuk beriman dan berharap yang penting. Kini kita bisa menghayati keheningan dan kesunyian yang menorehkan sakit dan kepedihan di kehidupan ini sebagai sebuah kesempatan menantikan sesuatu yang mengejutkan, sesuatu yang kitapun tidak pasti apa yang sedang menanti kita di ujung penantian dan pengharapan iman kita.