Rabu, 23 September 2009

De-ritualisasi Agama dan Formasi Moralitas

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia sangat agamais. Sejak pendirian Negara ini, para pelopor telah sepakat untuk meletakkan prinsip agama sebagai butir pertama dalam dasar negara. Dengan kata lain, usulan Bung Karno yang meletakkan asas kemanusiaan sebagai prioritas pertama digantikan dengan asas keagamaan, yang diterjemahkan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa.
 Kesepakatan ini memang memiliki akar yang panjang dalam perjalanan sejarah kita. Banyak bangunan terbesar diinspirasi oleh keyakinan agama, banyak pemimpin bangsa dilatarbelakangi komunitas agama dan banyak perjuangan bangsa didorong oleh kekuatan agama. Tidak heran bila sampai kini agama menempati posisi penting dan menjadi agenda kritis dalam persoalan sosial, politik dan ekonomi. 
 Namun persoalan yang masih terus memboroki wajah keagamaan Indonesia adalah jurang yang masih menganga antara ritualitas agama dan moralitas penganutnya. Kita baru saja termanggu dengan tafsiran agama yang mengambil wajah kekerasan dan dijustifikasi dengan penuh percaya diri. Hal ini ditampilkan dan dibela dengan suatu bentuk pembenaran yang sulit dipahami. Bahkan bisa dikatakan berisi penalaran yang berada di pinggiran rasionalitas. Belakangan ini ekspresi agama yang sudah lama tersimpan sebagai api dalam sekam, muncul dalam wajah poligami seraya menafikan perkembangan kesadaran dan persamaan gender yang menjadi wacana modern internasional.
 Dalam situasi seperti ini, khususnya dengan baru saja kita memperingati paskah dan akan merayakan HUT kemerdekaan, sangat tepat apabila makna beragama secara kristiani perlu di terjemahkan dengan cara yang baru, segar dan kontekstual sesuai dengan kondisi bangsa kita. Memang patut diakui bahwa ritualitas adalah salah satu bentuk dan ekspresi tertua keyakinan keagamaan. Namun bila ritualitas tidak dibarengi dengan transformasi moral, maka keagamaan hanyalah tinggal kulit dan kehilangan isinya yang esensial. Ritual bisa menjadi ekspresi murahan dan suatu praksis kultural yang kopong, suatu penerjemahan murah yang ingin menghindar dari implikasi wajar moralitas keagamaan.
 Patut dipuji setiap usaha yang lahir dari niat untuk menterjemahkan keyakinan dalam ibadah dan perayaan. Sama seperti kegairahan menasional pada masa bulan Ramadhan, semangat pada bulan Desember, demikian pula pada setiap kali kita terlibat dalam kegiatan keagamaan lainnya. Namun yang patut disayangkan adalah nihilnya transformasi sosial sebagai sebuah dampak yang patut didambakan dalam masyarakat yang agamais.
 Menyimak kenyataan ini membuat kita perlu mengugat ritual agama sebagai suatu tradisi yang suram. Hakikat keagamaan perlu diterjamahkan dalam pengalaman eksistensial pribadi dan tranformasi sosial-moral yang hakiki. Bukanlah suatu gugatan tak berdasar bila wajah agama diprotes dan dinyatakan perlu mengalami de-ritualisasi. Ini adalah gugatan yang sah, dan perlu diresponi dengan arif, khususnya oleh pemuka dan penceramah agama. 
Hal ini perlu dibaca di dalam konteks sosial dan kenyataan masyarakat bahwa pemuka agama tidak selalu identik dengan keluhuran moralitas. Dengan pola paguyuban yang masih kental dalam pola interaksi sosiologis kita, keteladanan adalah kekuatan terbesar kristalisasi moral. Namun justru disinilah keimanan kita masih perlu berbenah dan melakukan reintrepetasi total. Dibalik keranjingan infotainment menuturkan investigasi dan kelancungan dibalik praktek poligami, tersimpan sindiran sinis terhadap kemunafikan beragama. Namun kesinisan seperti ini adalah pedang bermata dua yang pada sisi lain dengan mudah menumpulkan instink moralitas masyarakat dan mengakibatkan penerimaan kolektif yang terjadi dengan setengah sadar. 
Kalau pada bagian ini terdapat kegagalan yang besar, maka proses formasi moral mengalami kecacatan yang tidak mudah untuk disembuhkan. Harga yang dibayar akan sangat mahal. Karena itu, agenda mendesak bagi masyarakat, pemuka agama dan khususnya orang Kristen di Indonesia adalah melakukan restrukturisasi agama dan menterjemahkannya menjadi suatu bahasa yang menempatkan formasi moral sebagai abjad utama. De-ritualisasi agama bukanlah suatu keniscayaan, namun dalam konteks Indonesia merupakan pil penawar yang tepat untuk menyembuhkan luka moral yang masih menganga.

Tidak ada komentar: